Bintang Emon; Daftar Panjang Upaya Pembungkaman Publik
TULISAN KAWAN SH | OPINI Perubahan politik di
Indonesia (1998) berdampak pada iklim kebebasan berserikat dan berpendapat.
Komukasi politik di Indonesia tidak lagi bersifat malu-malu kucing. Kebebasan
berekspresi dan berpendapat pasca 1998 semakin kokoh dan mendapatkan ruangnya
ruangnya.
Selain itu UU No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) lebih dalam mengatur mengenai
kebebasan berekpresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) UU tersebut menyebutkan
bahwa "Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan
pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak
maupun media cetak elektronikdengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa".
Untuk menguraikan
masalah kekinian, kebebasan berekspresi dan berpendapat dimuka umum hendaknya
dilihat dari perspektif yang lain. Jika berpikir secara fundamental, benar
Indonesia dikenal sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia. Sekitar 83, 55 %
rakyat Indonesia mayoritas beragama Islam. Sekali pun Islam tidak diatur dalam
konstitusi sebagai agama negara. Seperti halnya Malaysia.
Tetapi dengan
keberadaan muslim sebagai umat yang mayoritas, sudah barang tentu doktrin
keagamaan menjadi keniscayaan. Hak kemerdekaan
berpikir, mengeluarkan pendapat dimuka umum adalah sesuatu yang melekat
dalam keyakinan keagamaan. Karena prinsip kehidupan dalam Islam bersendikan
pada akal semuanya. Maka negara tidak memiliki hak untuk mengekebiri kebebasan berpendapat.
Karena islam telah menjamin kemerdekaan bagi umatya.
Ketika negara
memaksakan kehendak untuk mengekangnya, jangan salahkan masyarakat jika upaya
pembungkaman direspon dengan cara yang reaktif. Keyakinan terhadap doktrin
keagamaan adalah sesuatu yang mutlak adanya. Sebab Islam akan tetap berbidiri
meski tanpa negara sekalipun. Nampaknya, kebebasan berekspresi dan berpendapat
dimuka umum masih menjadi polemik dalam itu politik sendiri.
Hal ini pula yang
sedang dihadapi oleh komedian Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra
alias Bintang Emon. Beberapa waktu belakang ia menjadi topik hangat dalam
pemberitaan media massa. Baik cetak maupun online. Bintang Emon mulai dikenal setelah
berhasil menjuarai Stand-up Commedy Academy 3 yang ditayangkan oleh salah satu
stasiun televisi swasta pada tahun 2017 lalu.
Upaya penyerangan terhadap
dirinya tampak setelah akunya mulai diserang oleh buzzer dengan tuduhan bahwa
ia menggunakan narkoba. Tuduhan itu dialamatkan kepadanya setelah ia mengrkritik
kejanggalan hukum terhadap terdakwa kasus penyiraman air keras yang dialami
oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Repubilk Indonesia Novel
Baswedan. Kejanggala itu berupa ringannya tuntutan hukum oleh jaksa yang hanya menuntut
satu tahun penjajara terhadap para terdakwa.
Menurutnya ada
ketimpangan dalam penegakkan hukum terkait kasus itu, karena jumlah tuntutan
satu tahun masa tahanan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan waktu yang
dihabiskan untuk memburu para terdakwa. Terhitung 2,5 tahun negara menghabiskan
waktu untuk memburu mereka. Baginya itu merupakan bentuk perbandingan yang tak
seimbang. Sementara itu dari kejaksaan, Ahmad Patoni menyebut
pihaknya memiliki alasan menuntut satu tahun penjara. Karena Rahmat Kadir
Mahulette dan Ronny Bugis, menurutnya, mengakui perbuatannya dalam persidangan.
Upaya pembungkaman lain
yaitu serangan berupa peretasan terhadap akun Media Sosial yang sempat menimpa sejumlah aktivis secara
masif. Terutama mereka yang selama ini vokal mengkritik RUU Omnibus Law Cipta
Kerja.
Rivanlee Anandar
Peneliti dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
dalam keterangan persnya bersama Tempo.com (15/06/2020) menilai bahwa apa yang
telah dilakukan oleh buzzer dengan menyerang pribadi komedian Bintang Emon
sebagai pengguna narkoba adalah bentuk pembungkaman terhadap individu atau
kelompok.
Sebelumnya praktik penyerangan
dengan upaya pembungkaman di Indonesia sudah seringkali terjadi. Namun dalam
penanganannya belum memuaskan masyarakat. Ini menandakan hukum di Indobesia
masih tebang-pilih. Istilah membantah hukum sebagai panglima jelas terbantahkan.
Karena hukum akan tumpul dan gampang untuk dilanggar ketika berdampingan dengan
kepentingan politik.
Peristiwa penyerangan
terhadap individu dan kelompok menandakan rendahnya kualitas demokrasi di
Indonesia. Praktik demokrasi di Indonesia belumlah dewasa dalam memaknai
perbedaan pendapat dimuka umum. Akibatnya ada pihak yang sengaja mengambil alih
peran negara untuk melakukan intimidasi verbal dan non verbal terhadap mereka
yang berlainan pendapat.
Kritikan
Bintang Emon, apa yang dikhawatirkan?
Dalam analisa sederhana,
upaya penyerangan terhadap akun twitter menunjukkan adanya kekhawatiran menyoal
akun instagram yang digunakan untuk meng-upload
video tersebut memiliki 2,7 juta pengikut. Jika dibadingkan dengan akun artis papan
atas Indonesia jumlah pengikutnya di Instagramnya tentu kalah saing. Tetapi konten
yang diunggah melalui akunya selalu mendapat respon positif dari masyarakat.
Karena dianggap mewakili keluh-kesah masyarakat.
Salah satu contoh,
Bintang Emon melalui segmen Dewan Perwakilan Omel-omel (DPO) konten ke-10 dan 12 yang masing-masing
diunggah pada tanggal 22 dan 30 Maret 2020 tentang virus Corona-19 mendapat
respon yang luar biasa positif. Video tersebut diputar hingga 3,5 juta kali di
Instagram. Angka 2.7 juta pengikut ini, bisa menjadi ancaman bagi sebagian
orang, jika video pembelaan terhadap Novel Baswedan terus dibagikan dan menjadi konsumsi publik
luas.
Karena itulah kenapa
para buzzer menyerangnya dengan menuding Bintang Emon sebagai pengguna narkoba.
Dalam dunia kejahatan t serangan ini disebu sebagai Individual trollinng. Yaitu sebuah model serangan yang dilancarkan
dengan merusak reputasi korban. Karenanya narkoba dipilih sebagai peluru
serangan. Tetapi tuduhan itu sontak dibantah cepat oleh komedian yang lain.
Vidio yang diunggah jika
dibandingkan dengan kritikan dari pihak lain, Kritikan Bintang Emon tidaklah
seberapa jika dibandingkan dengan kritik yang lain dalam tema politik yang
cenderung menghujat, mengumpat, memfitnah, mencaci, dan cenderung menghancurkan
karakter lawannya.
Para buzzer memutuskan
menyerang Bintang Emong, karena kritik
dengan model Humor dianggap efektif untuk melancarkan kritik-kritik terhadap
negara akhir-akhir ini. Disamping budaya humor orang Indonesia juga sangalah
tinggi. Mengapa demikian, karena acara stand-up comedy
belakangan ini menjamur dan menjadi tontonan sampingan disela-sela kegiatan
inti agenda utama.
Kritik yang dikemas dalam
model humor tidak disampaikan dengan bahasa yang keras. Tidak juga dengan mencaci,
menghujat dan memfitna. Tetapi murni ingin menyampaikan pendapat tersebut serasional mungkin. Dalam vidio itu juga tegas
disebutkan bahwa yang salah bukanlah cara jalan Novel Baswedan tetapi yang
salah ialah dalam aspek penegakkan hukumnya.
Alasan lain, kenapa
buzzer menyerang Bintang Emon ialah meskipun dia bukan rival politik secara
langsung orang yang berkepentingan. Tetapi buzzer melihat ada keuntungan bagi
Novel Baswedan. Ia akan diuntungkan
karena kasus yang menimpanya mendapatkan pembelaan dengan sentuhan komedi dan vidio tersebut berjalan
secara efektif.
Jika itu dibiarkan, maka
akan terbentuk suatu konsensus khayalak yang berkenaan dengan pembentukan opini
publik. Vidio yang tersebar itu pada gilirannya akan mengkristal menjadi suatu
pendapat umum. Karenanya, sedini mungkin pembelaan-pembelaan yang akan
memperkuat Novel Baswedan harus segera ditepis.
Dalam perspektif
komunikasi juga, ada setting psikologis yang sedang bermain. Maka yang
dikedepankan oleh buzzer ialah menyerang secara langsung tanpa melihat kembali
isu apa yang dipakai untuk menyerang Bintang Emon. Pada posisi ini para buzzer
hanya memikirkan respon public yang cukup antusias terhadap vidio itu,
disamping ada permainan bahasa yang digunakan dalam upaya pengkritikan.
Pada tahap ini ada
sesuatu yang terjadi, yaitu pergeseran
paradigma komunikasi. Dimana makna
tidak dibentuk oleh Bintang Emon sebagai pengkritik melainkan dibentuk oleh
kepala penerima pesan atau masyarakat. Masyarakat yang terlibat didalamnya
untuk menonton vido tersebut akan memaknai kritikan oleh Bintang Emon sebagai sebuah
kebenaran.
Memaknai kritik
Hakikatnya sebuah
kritik yang dari luar koalisi pemerintahan dianggap sebagai otokritik yang
menggambarkan secara objektif mengenai kondisi kebangsaan. Posisi pengritik pun
jangan dilihat sebagai kekuatan oposisi yang hendak 'menelanjangi'
pemerintahan. Termasuk yang dilakukan oleh Bintang Emon.
Proses transformasi
informasi seharusnya dapat berjalan sealamiah mungkin. Tanpa ada upaya sistemik
melihat kritikan dan masukan sebagai tanda perlawanan terhadap pemerintahan.
Siapapun harus melihat kritik
sebagai masukan strategis. Dalam konteks kenegaraan bangunan sosial-politik
negara sesungguhnya sedang rapuh dan goyah. Kritik-kritik yang bermunculan
harus diformulasikan untuk meluruskan arah penyelenggaraan negara.
Mereka yang tegas
terhadap kritiknya adalah mereka yang jujur pada nuraninya. Maka kritikan Bintang
Emon sesungguhnya peringatan bagi pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaan
sesuai dengan orientasi kenegaraan.
Kesederhanaan kritik itu disampaikan secara sistematis tetapi sarat akan makna. Panjangnya perenungan menandakan adanya permasalahan yang amat serius yang tengah dihadapi oleh negara.
Berita ini juga pernah di muat di PENJURU ID
Penulis |
: |
Muh.
Anhar |
Pekerjaan |
: |
Mahasiswa
Pascasarjana Master Komunikasi UPSI Malaysia 2019 |
Email: |
: |
|
Organisasi |
|
1.
Aktivis IMM NTB 2.
Pendiri Komunita Diskusi Lentera BuMi (Budaya dan
Media) |
Post a Comment